Sebagaimana kita ketahui bersama,
bahwa luas area lahan pertanian di Indonesia sangatlah luas. Hal ini seharusnya
dapat dimanfatkan dan diolah untuk pertanian organik yang menjanjikan. Dari
75,5 juta ha lahan lahan pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah
untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut agar lahan
yang digunakan steril dari bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik.
Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Ciri lahan yang
belum tercemar adalah lahan yang masih kosong atau belum diusahakan, tetapi biasanya
lahan yang demikian kurang subur. Justru lahan yang subur itu pada umumnya
telah dikelolakan secara intensif dengan penggunakan bahan pupuk dan pestisida
kimia. Penggunakan lahan seperti ini diperlukan masa konversi cukup lama, sekitar
2 tahun.
Volume produk pertanian organik
mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar
internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti
Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih
banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan
Korea.
Potensi pasar produk pertanian
organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah
ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain:
1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik,
2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia,
3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut.
Areal tanam pertanian organik,
Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa,
Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan
1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika
masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar (Tabel 1).
Sayuran, kopi dan teh mendominasi pasar produk pertanian organik internasional
di samping produk peternakan.
Tabel 1. Areal tanam pertanian
organik masing-masing wilayah di dunia, 2002.
No.
|
Wilayah
|
Areal Tanam (juta ha)
|
1
|
Australia dan Oceania
|
7,70
|
2
|
Eropa
|
4,20
|
3
|
Amerika Latin
|
3,70
|
4
|
Amerika Utara
|
1,30
|
5
|
Asia
|
0,09
|
6
|
Afrika
|
0,06
|
Indonesia memiliki potensi yang
cukup besar untuk bersaing di pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal
ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain :
1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik,
2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.
Pengembangan selanjutnya pertanian
organik di Indonesia harus ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar global.
Oleh sebab itu komoditas-komoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan
seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera
dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar
kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak
memiliki merek dagang.
Pengembangan pertanian organik di
Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan baru, karena sistem ini hampir
sama halnya dengan pertanian intensif seperti saat ini. Kelembagaan petani
seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat relevan.
Namun yang paling penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat posisi
tawar petani.
Diperlukan satu upaya yang menyatu untuk mensukseskan
program pertanian organik. Untuk itu baik pemerintah, lembaga dan
petani itu sendiri harus menyatukan pemikiran. Demi penyediaan bahan pangan yang
alami dan sehat. Perlu waktu panjang bagi Indonesia untuk mendominasi
pasar pangan dunia. Tetapi jika hal tersebut digarap dengan komitmen tinggi,
tidak ada sesuatu yang mustahil. (r.a)