Pc.1 Menyerah (biznizmamaputeri.blogspot.com) |
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang
berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis
adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang
tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah,
pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis
mempunyai anak yang berwatak keras. Dalam kondisi kita sebagai orang tua
yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih
tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan
mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit
mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya (penulis)
sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis,
“Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi
mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup
lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras
untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak
keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang
kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali menyamakan antara
mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah
salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak,
kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan
kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik.
Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan
pada pihak lain (dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat
ya takut).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah!
Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk
kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu
dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas
adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta
matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita
rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai
emosi.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada
saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang
kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan
berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan
hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang
kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang
ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi
cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15. Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita
terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari
sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita
enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai
kembali hubungan yang normal.
Apa yang harus kita lakukan agar
komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai
orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda
tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita
dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak,
bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini biasanya terjadi pada kebanyakan
orang tua konservatif. Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil,
nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah…
anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik lagi jambak
jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau
bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga
sempat berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga
anak anak. Nggak sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan
keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya
sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak
perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali
sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan
tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya,
semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau
bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati,
tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya
beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat
kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua
mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama
mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama
mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan
jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali
menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna
ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka
bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk
dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”,
perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung,
mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik,
misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta
mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti
kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa
konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa hidup dalam budaya yang
serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga
kita anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instant
pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur,
sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total dalan jangka
waktu sehari.
Apabila kita sering memaksakan perubahan
pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan
besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi
keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya
lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak
bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan
kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan
yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak
mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan
perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang
paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan
perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya
yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang
dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk
menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah
dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan
pada hasilnya.
Bersambung... Anak 4- 37 Kebiasaan Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak
Diedit dari Buku Ayah Edy, tjokroaminoto360.wordpress.com